Orlet – Ibu mana yang rela kehilangan anak yang telah dikandung, dilahirkan dan dibesarkan penuh cinta serta kasih sayang? Apalagi jalan kematian sang buah hati akibat dibunuh oleh orang kepercayaan? Saya bertaruh dunia ibu tersebut tak akan lagi sama. Salah satunya terjadi pada artis cantik berusia 29 tahun Tamara Tyasmara yang harus terpisah selamanya dengan sang putra, Raden Andante Khalif Pramudityo pada usia 6 tahun.
Belum lenyap duka ditinggalkan sang putra, luka hati Tamara Tyasmara seakan bertumpuk-tumpuk akibat banyak menerima ujaran kebencian dari para netizen yang menduga dirinya turut terlibat dalam rencana pembunuhan Dante oleh Yudha Arfandi, selaku kekasih Tamara.
Dante merupakan putra pertama Tamara Tyasmara dari pernikahannya dengan Angger Dimas. Keduanya bercerai pada tahun 2021. Setelah resmi berpisah, Tamara menjalin hubungan asmara dengan Yudha Arfandi selama kurang lebih 2 tahun yang diakuinya sebagai sosok lelaki toxic karena kerap memukul, kasar kepada dirinya. Hal tersebut ia ungkap saat menjadi bintang tamu dalam podcast Denny Sumargo yang tayang pada hari Rabu, 13 November 2024.
Perempuan yang aktif di dunia entertain sejak tahun 2008 tersebut meluapkan isi hatinya terkait kronologi kematian sang putra dan membuatnya kerap menyalahkan diri sendiri.
Menurut psikolog dan psikiater Tamara Tyasmara mengalami delayed grief yakni kesedihan yang tertunda, reaksi terhadap kehilangan yang tidak terjadi langsung setelah peristiwa traumatis atau menyakitkan melainkan muncul beberapa minggu, bulan bahkan tahun setelah kehilangan.
“Baru-baru ini malah aku hancurnya kak, baru terasa hilangnya setelah kemarin bungkus sinetron aku itu,” ucap Tamara.
Alasan mengapa Tamara disebut mengalami delayed grief yaitu begitu menemukan kejanggalan atas kematian Dante, Tamara Tyasmara bergerak cepat melaporkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian hingga membuatnya sibuk mengikuti proses penyidikan serta persidangan berjalan cukup panjang sebelum akhirnya Yudha Arfandi divonis 20 tahun penjara serta ia sibuk syuting sinetron maka ketika semua telah selesai secara bersamaan, kesedihan Tamara terasa berkali-kali lipat sakitnya. Di rumah Tamara banyak menyimpan kenangan tentang mendiang sang putra. Tamara tak sanggup tidur di kamarnya juga Dante dari awal putranya meninggal hingga kini. Ia tak kuat jika sendirian di rumah. Oleh karena itu, setiap malam Tamara sering ditemani kawannya secara bergantian. Tingkat keparahan sikap Tamara saat teringat tentang Dante adalah ia berpikir pendek ingin mengakhiri hidup demi menyusul Dante, teriak-teriak, memecahkan barang, menendang, bagaikan orang gila itulah mengapa Tamara akhirnya dibawa ke psikiater.
“Makanya kata psikolognya kan lima tahap, denial, marah, tawar-menawar, depresi baru penerimaan. Nah, aku sekarang lagi depresi-depresinya, marah juga, baru mulai tawar-menawar seperti coba aku ngak gini, coba aku ngak gitu, coba aku ngak ninggalin, selalu nyalahin diri sendiri,” jelas Tamara.
Tamara mengenang masa-masa ketika memarahi almarhum Dante yang ketahuan main roblox. Ia merasa menyesal seharusnya tak melakukan hal demikian kendati kemarahannya karena rasa sayang yang teramat dalam. Tamara juga berkisah bahwa mendiang Dante ingin menjadi seorang dokter anak. Pada hari kamis, dua hari sebelum meninggalnya Dante, di sekolah putra Tamara Tyasmara itu terdapat pelajaran mau jadi apa kalau besar. Dante memilih memakai baju pilot yang sebelumnya tak pernah ia pakai dan berkata kepada gurunya, “I want to fly high, Miss”. Dante pergi untuk selamanya tepat di hari sabtu.
Foto-foto, mainan-mainan Dante masih tertata rapi di rumah Tamara. Ia bahkan pernah tak sanggup pulang ke rumah dan memilih menginap di hotel selama satu minggu. Suatu bentuk kehilangan yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang juga mengalaminya secara nyata.
“Satu doang sih yang mau aku omongin, I miss you,” ujar Tamara tak kuasa menahan tangis kerinduan terhadap sang putra yang kini telah tiada.