Dahulu kita memang begitu dekat. Ya mungkin seperti kata orang-orang. Kita pernah sedekat nadi, sebelum akhirnya sejauh matahari seperti saat ini. Kita begitu saling mengenal dan saling mengisi.
Namun kini? Kita seperti orang asing yang tak pernah lagi mau mengingat bahwa dulu kita pernah saling mengisi. Bahwa dulu kita pernah saling menjaga hati. Dan berjanji untuk saling setia sampai nanti.
Daftar Isi
- 1 Jika diminta untuk harus mengingat lagi, lucu rasanya jika melihat ini terjadi. Seakan kamu tak ingin mengingat bahwa dahulu kita pernah saling bertemu dan satu tuju.
- 2 Lukamu mungkin memang belum sepenuhnya pulih. Tapi bukan berarti kamu harus berlarut dan bisa menganggap semua orang itu sama
- 3 Seakan pintu maaf tak pantas untuk aku dapatkan. Aku tahu menyembuhkan luka itu tidaklah mudah.
- 4 Pada Akhirnya Kamu Memilih Pergi, Sedangkan Aku Merintih Tangis
Jika diminta untuk harus mengingat lagi, lucu rasanya jika melihat ini terjadi. Seakan kamu tak ingin mengingat bahwa dahulu kita pernah saling bertemu dan satu tuju.
Namun kini, kamu seakan tak ingin lagi mengenalku dan hanya ingin melupakan semua kenangan antara aku dan kamu. Seakan antara kita tak pernah tahu dan saling menyapa. Se-egois itu ternyata dirimu itu. Bahkan untuk mengenal aku saja yang dahulu pernah mengisi hatimu kamu enggan.
Aku tak pernah menyangka bahwa ini akan terjadi. Aku pikir kita akan bisa bertahan sampai nanti. Namun hanya karena luka masa lalumu yang tak sengaja tergores kembali, kamu seakan benar-benar tak bisa memberi ampun terhadap kesalahanku itu.
Sebenarnya bukan tanpa sebab aku menutupi itu darimu. Aku hanya tak ingin jika hal itu aku katakan, kamu malah akan salah menilaiku. Sebab ada luka yang dahulu pernah kamu rasakan. Namun ternyata niat baikku malah tak berbanding lurus dengan reaksimu. Hingga akhirnya kamu menilai buruk diriku ini dan menganggap bahwa aku ini sama saja.
Lukamu mungkin memang belum sepenuhnya pulih. Tapi bukan berarti kamu harus berlarut dan bisa menganggap semua orang itu sama
Aku tahu akan luka yang pernah kamu rasakan. Dan sedikitpun tak pernah terniat dariku untuk kembali menggoreskan luka itu. Mungkin benar, bahwa kenyataannya lukamu belum sepenuhnya pulih. Dan kamu pun belum menjadi dirimu seutuhnya. Tapi bukan berarti kamu bisa menganggap semua orang itu sama. Sama seperti ia yang pernah menggoreskan luka terhadap dirimu itu.
Aku pernah berusaha untuk menjelaskan semua itu. Tapi kamu lah yang tak pernah memberikanku kesempatan untuk menjelaskan. Katamu tak ada lagi yang perlu dijelaskan! Seakan kesalahanku ini adalah kesalahan fatal yang tak bisa ditolerir.
Seakan pintu maaf tak pantas untuk aku dapatkan. Aku tahu menyembuhkan luka itu tidaklah mudah.
Namun dengan kamu tidak memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjelaskan, bukankah itu malah akan membuat dirimu digiring oleh pikiran yang macam-macam akan seseorang? Bukankah itu malah akan membuatmu sulit bangkit akibat terluka?
Lukamu boleh saja belum sembuh. Tapi bukan berarti sebab lukamu itu kamu malah membuat orang lain pun menjadi terluka. Sebab kamu tak memberikan kesempatan kepadanya untuk mengatakan dan menjelaskan.
Sebab kamu malah menganggap ia sama seperti orang yang telah membuatmu terluka dahulu. Percayalah, saat kamu masih saja tetap dengan luka dan kesakitanmu dahulu, akan sulit orang baru masuk ke dalam hidupmu itu.
*****
Pada Akhirnya Kamu Memilih Pergi, Sedangkan Aku Merintih Tangis
Akan selalu ada cara lain, untukmu memilih berangsur membaik dan memulihkan perasaan. Dengan berpura-pura pamit, hingga akhirnya berujung dengan kata pergi. Nyatanya, kepergian yang sengaja kamu cipta itu gak seberapa dengan rasa sakit yang pernah kamu bentuk.
Dengan rasa ego yang sama sekali menjadi tameng terhebatmu, untuk sesegera mungkin menghilangkan diri. Atau tersering (mungkin) mengeja kata jera. Begitu juga dengan jeda. Untuk apa lagi memperbaiki segala yang retak. Mengisahkan tentang perjalanan hidup yang tidak sebaik orang-orang.
Karena kita tak akan pernah menjadi kata. Karena kita hanya, sebatas ilusi yang diramu oleh semesta, lalu diterbangkan angin hingga jatuh, menemukan jalannya sendiri-sendiri. Dulu, hanya kita yang selalu mementingkan ego. Kamu lebih berpura-pura, sedangkan aku hanya ingin berdiam diri.
Jika saja perjalanan ini bisa diputar. Pertemuan kita sama sekali tak dikenal. Kamu hanya sebatas singgah, dan aku yang masih berharap pisah. Pamit yang akhirnya menjadi pergi akan mungkin terjadi. Tak akan ada lagi penyelesalan atas penyelesaian.
Tidak ada yang namanya luka dari kehilangan. Karena semuanya benar-benar tidak mampu disatukan. Apa kamu masih ingat,’jika cinta tak akan mampu disatukan jikalau ia hanya ingin memedulikan dirinya sendiri. Jika orang-orangnya tak bisa belajar untuk menjadi cinta dalam dirinya.’ Kenapa bukan sejak dulu, kita memilih jalan ini?