Di balik tuntutan untuk selalu kuat, mandiri, dan menjadi kepala keluarga, tersembunyi sebuah beban emosional berat yang jarang dibicarakan: sulitnya laki-laki mengekspresikan kesedihan dan kekecewaan. Video bertajuk “Kalau Serius Mau BERKEMBANG, Laki-Laki Harus Terbiasa Dengan Fase Ini!” dari kanal SUARA BERKELAS membuka diskusi penting mengenai realitas ini.
Pembicara dalam video tersebut tanpa ragu membedah tekanan sosial yang menuntut laki-laki untuk menahan air mata dan menyingkirkan kerentanan.
Daftar Isi
Antara Marah dan Sedih: Sebuah Tabu yang Mengikat

Masyarakat sering kali lebih “memaklumi” kemarahan laki-laki ketimbang kesedihan mereka. Menurut pembicara, ada anggapan bahwa marah masih memiliki “unsur laki-laki,” sementara sedih adalah tanda kelemahan.
“…yang lebih susah dipahami itu sedih. Sedih dan kecewa itu susah banget buat laki-laki memahami dan mengekspresikan itu. Karena kita merasa cemen gitu. Kalau marah tuh kan masih ada unsur laki-lakinya… kalau sedih kecewa tuh kayak, anjing, man up man! Kayak lu laki-laki lah ngapain lu ngeluh…”
Tekanan ini menciptakan momen-momen pribadi yang menyakitkan. Pembicara bahkan berbagi kisah intimnya tentang kekecewaan pribadi:
“Gua duduk doang di sofa, terus kecewa sama sesuatu dalam hidup, atau sedih. Gua tuh penginnya keluarga gua bisa nyampai di titik ini tapi gua belum nyampai-nyampai, and then gua blame myself… dan gua belum nyampai ke situ… Ya udah, nangis aja gitu.”
Namun, bahkan dalam momen paling rentan itu, ada ketakutan yang menghantui: takut ketahuan.
“Nangis, tapi nangisnya pun sambil ketakutan karena maksudnya gua takut tiba-tiba istri gua keluar ke kamar mandi jadi ngelihat gua misalnya gitu kan, itu kan gua enggak pengin ketahuan sebagai laki-laki.”
Jeritan Hati yang Dipendam dan Kebutuhan akan Validasi

Laki-laki seringkali memendam kekecewaan mendalam ketika merasa kerja keras dan pengorbanan mereka sebagai penyedia nafkah tidak divalidasi.
Seorang teman curhat yang diceritakan pembicara mengungkapkan rasa frustrasinya: “Gua udah kerja mati-matian banting tulang segala macam, tapi istri gua enggak pernah bilang bangga, enggak pernah bilang terima kasih.”
Lebih dari sekadar kata-kata, yang dibutuhkan adalah pengakuan atas usaha:
“…gesture-gesture bahwa I value you, I value your effort gitu. Itu tuh enggak didapatkan gitu. Sehingga kayak ya sudah dipendem aja gitu, terus enggak mau nangis pula, enggak mau ke psikolog pula.”
Memendam emosi ini adalah resep menuju kehancuran, yang bisa berujung pada ledakan emosi tak terduga.
Laki-Laki dan Cinta Bersyarat

Bagian paling menarik dari video ini adalah saat pembicara mengutip bit terkenal dari komedian Chris Rock mengenai konsep cinta.
“Only women, children and dog that can be love unconditionally. Man only love by the condition that he provides something.”
Kutipan ini, yang diterjemahkan menjadi “Cuma perempuan, wanita, dan anak-anak yang bisa dicintai tanpa syarat. Laki-laki itu hanya dicintai dengan syarat dia bawa sesuatu, dia provide sesuatu,” menyentil inti dari beban maskulinitas.
Meskipun pembicara mengakui bahwa pernyataan ini tidak sepenuhnya benar, ia juga tak menampik realitanya: “Kalau gua pulang ke rumah gua bilang gaji gua naik dua kali lipat, pasti gua jauh lebih disayang, which is true.”
Beban inilah yang disimpulkan sebagai “that’s the burden that man carry.”
Membuka Ruang untuk Perasaan
Pesan terakhir dari video ini adalah seruan untuk saling memahami. Laki-laki perlu menyadari bahwa kerentanan adalah bagian dari proses pertumbuhan (“berkembang”), bukan kelemahan.
Di sisi lain, kaum perempuan juga diimbau untuk lebih peka:
“Ketika cowok lu, anak lu, ayah lu komplain, itu mungkin bisa jadi bukan komplain, bukan masalah yang dia komplainnya, tapi masalah ada perasaan dia yang selama ini belum ke-channel gitu. Dia mungkin tidak pernah mengekspresikan itu, atau dia tidak pernah mendengar bahwa lu membuka ruang untuk perasaan itu.”
Intinya, jika laki-laki serius ingin berkembang, mereka harus mulai membiasakan diri untuk menghadapi dan memproses fase-fase emosi yang selama ini mereka anggap tabu, dan lingkungan terdekat perlu memberikan ruang aman agar “beban tak terlihat” ini dapat diringankan.
Kamu juga bisa membaca artikel menarik lainnya seperti Strategi “Jalur Belakang” Dapatkan Kerja: Lebih dari Sekadar CV, Kunci Ada di Networking dan Referensi
Response (1)