Anjing—hewan setia yang seringkali menjadi sahabat manusia. Namun, dalam kacamata syariat Islam, posisinya seringkali menimbulkan perdebatan, terutama terkait status najis dan hukum memeliharanya.
Melalui kajian yang komprehensif, Syekh Muhammad Alfuli membedah tuntas persoalan ini berdasarkan pandangan empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Ternyata, ada dua bab hukum yang harus kita pisahkan.
Daftar Isi
Bab 1: Status Kenajisan (Najis atau Suci?)
Apakah anjing najis secara keseluruhan? Pertanyaan ini memicu perbedaan pandangan di antara ulama:
1. Mayoritas (Hanafi, Syafi’i, Hambali): Anjing adalah Najis
Tiga mazhab utama menyepakati bahwa anjing adalah najis. Dasar utamanya adalah hadis Nabi Muhammad ﷺ yang memerintahkan mencuci wadah yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali, salah satunya menggunakan tanah.
Intisari Dalil: Perintah bersuci yang sangat spesifik dan “berat” ini (tujuh kali cuci) diyakini oleh mereka sebagai indikasi kuat bahwa anjing adalah hewan najis.
2. Mazhab Maliki: Anjing Tidak Najis
Mazhab Maliki mengambil pandangan berbeda. Menurut Imam Malik, perintah mencuci tujuh kali itu bukanlah karena anjingnya najis, melainkan termasuk kategori ta’abbudi—yaitu, perintah yang harus dilaksanakan apa adanya sebagai bentuk penyerahan diri kepada Allah, tanpa perlu dicari-cari hikmahnya.
Bab 2: Hukum Memelihara Anjing (Haram atau Boleh?)
Setelah membahas najis, kita beralih ke hukum memelihara. Perlu dicatat: suatu benda bisa jadi suci, tetapi haram dipelihara; atau najis, tetapi boleh dipelihara karena kebutuhan.
1. Hukum Asal: Haram atau Makruh
Menurut kesepakatan empat mazhab, hukum asal memelihara anjing adalah haram, atau minimal makruh yang sangat keras.
Ancaman Syariat: Rasulullah ﷺ bersabda bahwa siapa pun yang memelihara anjing tanpa alasan yang dibenarkan, pahala amalnya akan berkurang dua qirat setiap hari. Dua qirat setara dengan pahala dua Gunung Uhud!
2. Pengecualian: Alasan Kebutuhan Syar’i
Islam adalah agama yang realistis. Anjing boleh dipelihara, dan ancaman pahala berkurang akan hilang, jika tujuannya adalah untuk kebutuhan yang dibenarkan:
- Berburu (Kecuali)
- Menjaga Ternak (Kecuali)
- Menjaga Kebun (Kecuali)
Para ulama juga melakukan qiyas (analogi) untuk memperbolehkan memelihara anjing untuk:
- Menjaga Keamanan Rumah (di daerah rawan).
- Anjing Pelayan/Penolong (untuk tunanetra atau lansia).
Peringatan Penting: Niat memelihara tidak boleh dimanipulasi. Jika rumah Anda aman, alasan “menjaga” akan batal karena Allah Maha Mengetahui isi hati.
Etika Lain: Larangan Membunuh Anjing!
Terakhir, Syekh Muhammad Alfuli memberikan penekanan keras pada etika memperlakukan anjing.
Hukum Membunuh Anjing: Membunuh anjing, bahkan yang liar atau najis, hukumnya haram jika tanpa alasan yang dibenarkan (misalnya, anjing gila yang menyerang).
Penegasan: “Nyawa itu urusan Allah. Kenajisan (seperti babi atau anjing) bukanlah alasan untuk menghilangkan nyawa makhluk Allah subhanahu wa ta’ala.”
Kesimpulan Utama
Memelihara anjing tidak otomatis dilarang, tetapi memerlukan alasan yang kuat. Jika Anda memelihara anjing karena alasan yang dibenarkan (misalnya, untuk menjaga kebun), Anda harus tetap berhati-hati agar tidak terkena air liur anjing karena statusnya yang najis.
Pesan Kunci: Pisahkan dua bab ini. Tentukan niat memelihara Anda, dan senantiasa perhatikan kebersihan/bersuci dalam berinteraksi dengannya.
Kamu juga bisa membaca artikel menarik kami lainnya seperti Benarkah Menikah Beda Agama Haram?