Untuk yang pernah datang menabur ribuan bunga dihati. Menciptakan pelangi indah disetiap hari. Kenapa mesti aku yang jadi opsi ketika bosanmu. Kenapa memilih aku untuk jadi sekedar tempat singgah. Aku ini tidak setangguh yang terlihat. Aku ini mudah luluh. Aku ini jika sudah nyaman enggan beranjak. Jika tak berniat menetap jangan mendekat.
Jangan memberi celah aku untuk berharap. Aku ini cengeng, mudah sekali menangis. Aku ini tak pandai menerka. Salah-salah aku bisa terjebak pada rasa nyaman dan ingin memiliki. Jika aku hanya opsi dari rasa bosan lalu kenapa kau perlakukan aku layaknya prioritas.
Untuk yang pernah mengisi kekosongan dihati. Terimakasih sudah menciptakan warna baru dalam hidupku. Bukanlah salahku jika rasa itu hadir. Jika sedari awal kau seolah memberi harapan begitu nyata. Kau datang menawarkan hidupmu.
Memberi kenyamanan yang sulit aku temui. Tak salah rasanya jika aku jatuh hati. Menyesali pertemuan sudah terlambat. Sebab kita sudah sedekat nadi. Bagaimana mungkin aku menjadi sosok yang tak tampak sedangkan aku ada disetiap harimu.
Ternyata aku bukanlah rumah tempatmu menetap melainkan hanya tempat singgah jika esok kau tidak betah bisa mencari tujuan baru.
Kebenaran yang tidak sengaja aku ketahui merubah aku yang teduh menjadi gelap. Aku berpikir begitu keras. Menerka letak salah dalam kedekatan ini. Terimakasih sudah menyadarkanku banyak hal. Memberi aku pelajaran menghargai arti kehadiran seseorang.
Terima kasih untuk lukanya. Terimakasih sudah menjadikan aku bagian dari waktu luangmu. Membuat aku menjadi lebih berhati-hati dalam bersikap. Terimakasih sudah mengajarkan arti mengikhlaskan itu.
Melepasmu adalah keputusan dewasa yang aku ambil. Sebab kedekatan ini bila terlalu lama akan melebur menjadi nyaman yang semakin sulit untuk dilepas. Maaf jika aku salah mengartikan perhatianmu. Mungkin aku saja yang terlalu lemah dan kurang keras menahan perlakuan dan perhatian yang kau beri.
Perlahan aku akan terbiasa tanpa pesan dan gurauanmu. Tanpa hadirmu lewat salam dipagi hari. Terimakasih ya sudah meluangkan waktu untuk menemani aku bercakap. Iya anggap saja kita dua orang yang butuh teman mengobrol, maaf dalam ‘obrolan’ yang kita bicarakan aku lupa menjaga hati, sampai jatuh dan lupa kembali.
Maaf jika aku melibatkan hati pada kedekatan ini. Aku bersyukur mengenalmu. Menikmati setiap ‘obrolan’ yang tercipta. Jika akhirnya tak seperti harapanku. Aku tetap mensyukurinya. Sebagai sebuah ujian pada imanku yang mudah sekali goyah ini. ****
Wajahku yang Menghiasi Media Sosialmu, Tapi Wajahnya yang Ada Disampul Buku Nikah
Jadi begini rasanya menjaga jodoh orang itu. Sakit sekali tapi tak ada darahnya. Perih sekali tapi tak tampak lukanya. Sungguh menyedihkan menerima kenyataan bahwa bukan namaku yang tertera pada kartu undangan yang kau sebar.
Lucunya, kamu yang menebar undangan aku yang direcoki dengan kekepoan teman-temanmu. Aku tidak menyalahkan mereka akan rasa penasaran yang ada. Siapa yang bisa memprediksi, aku yang bertahun-tahun bersamamu. Sedari pelajar, mahasiswa sampai kita sama-sama menjadi seorang pekerja.
Fotoku yang menghiasi dinding sosial mediamu. Wajahku yang kau pamerkan sebagai calon ‘pendamping masa depan’. Namun nyatanya, foto yang ada disampul ‘buku nikah istri’ bukanlah wajahku.
Aku yang merancang konsep pernikahan denganmu tapi dia yang jadi pengantinnya.
Aku yang menenangkan saat kau bersedih tapi dia yang menikmati tawamu. Aku yang menjagamu dalam kesepian tapi dia yang menggengam tanganmu dalam keramaian.
Itu aku bukan dia. Aku terlalu sesumbar perihal jodoh. Melangkahi takdir membayangkan hidup berdua bersamamu, meski dalam hayal. Imajinasi itu berubah jadi sebuah keinginan yang sayangnya tidak dapat terwujud. Saat impian itu tak hanya semu, akulah yang jadi paling menyedihkan.
Aku yang mendampingimu menjadi baik namun dia yang merasakan kasih sayangnya. Aku yang menyembuhkan luka, namun dia yang kau limpahkan perhatian. Aku yang berharap ada disisimu jadi pendamping hidup tapi dia yang kau pilih jadi teman hidup. Di mana letak salahku?
Bukan saja mereka barisan para ‘penonton’ yang kerap melabeli kita sebagai couple goals atau sekedar memenuhi kolom komentar instagram yang sibuk mengarahkan kita untuk segera meresmikan hubungan dalam ikatan pernikahan yang tersentak dengan kenyataan ini.
Banyak tanya terlontar padaku.
Kenapa kalian putus? Kenapa bukan kamu yang bersamanya? Kenapa bukan kamu yang jadi pengantinnya?
Dan banyak kenapa-kenapa lainnya.
Kemudian aku hanya mampu terdiam. Mulutku kelu untuk sekedar mengucap satu kata. Aku masih sulit memberi alasan karena semakin aku mencari celah ‘salah’ pada akhirnya aku menemukan kesimpulan tidak ada yang salah diantara kita.
“Tidak ada yang dapat menolak takdir (ketentuan Allah) kecuali doa dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali berbuat kebaikkan.” (HR Tirmidzi, HR. Ibnu Majah)
Semua permainan takdir. Perihal jodoh sekuat apapun aku memaksa, dirimu mengelak, jika Tuhan bilang bukan jodohnya, aku bisa apa, kita bisa berbuat apa.
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar Ra’d: 39).
Untukmu yang akan menjemput bahagia semoga kenangan bersama kita tidak mengusik kehidupanmu bersama dia. Dan aku ? Biarlah aku menikmati hidupku dan kamu tak perlu mengetahuinya.