Bagi Bang Bebek, parit berlumpur dan kebun kelapa sawit yang sepi adalah “kantornya.” Sebagai pemancing belut sejati, ia terbiasa menantang lokasi yang sunyi, bahkan angker.
Namun, di suatu pagi cerah tahun 2022 di Saitnis Perchut, Medan, tekadnya untuk mendapatkan tangkapan terbaik justru menyeretnya ke dalam dimensi lain—sebuah jebakan ghaib yang dihuni oleh siluman sawit dan hampir merenggut nyawanya.
Daftar Isi
Peringatan yang Diabaikan dan Pertemuan Aneh

Semangat Bang Bebek tak terbendung setelah melihat parit yang “bagus kali” di sela-sela batang sawit tua. Ia mempersiapkan diri pada hari Minggu, membawa perlengkapan lengkap. Sebuah peringatan dari temannya terlintas: “Tempat itu kayak tempat jin buang anak.” Namun, ia hanya tertawa. “Ah, orang-orang Medan kan suka lebay,” balasnya.
Setelah menitipkan motor, ia mulai memancing. Awalnya, ia menemukan “pecah telur pertama”—seekor belut besar di dekat rumah tua tak berpenghuni. Sukses awal itu mendorongnya masuk lebih dalam ke jantung perkebunan.
Di situlah ia melihatnya: seorang nenek-nenek berpakaian kemben memunguti brondolan sawit. Usianya sekitar 70-an, tetapi langkahnya lincah. Keanehan mulai terasa ketika pandangan sekeliling Bang Bebek seketika berubah. Jalan raya, rumah, dan peradaban lenyap. Yang tersisa hanyalah hamparan sawit sejauh mata memandang. Ia telah melangkah melewati batas.
Waktu yang Berhenti dan Logika yang Mati
Dalam kebingungan yang terselubung oleh keberuntungan, ia terus memancing. Parit itu sangat “subur,” setiap umpan langsung menyangkut. Dalam hitungan jam, uncangnya hampir penuh. Ini adalah hari terbaiknya.
Semua berubah saat ia melihat nenek itu lagi, kini memikul goni brondolan sawit seberat kilogram. Merasa kasihan, Bang Bebek menawarkan bantuan. Ketika ditanya arah rumahnya, si nenek menunjuk ke arah yang Bang Bebek yakini kosong. Namun, logikanya seolah dimatikan.
Selama perjalanan, si nenek menceritakan bahwa anak, cucu, dan cicitnya sudah meninggal semua. Ia juga menyebut harga sawit “cepek limpul” (Rp150 per kilo)—nilai yang mustahil di tahun 2022.
Sesampainya di rumah nenek, suasana makin mencekam. Bangunan tanpa sekat, berdinding bambu, dihiasi sabut kelapa, tulang, dan wayang daun rumbia. Tidak ada satu pun barang logam. Bang Bebek bahkan disuguhi teh panas di gelas bambu padahal mereka baru saja tiba—“Kok bisa teh-nya udah siap?”—tapi ia tak mampu berpikir jernih. Sebelum pamit, ia memberikan sandalnya kepada si nenek, sebuah tindakan tulus yang justru menjadi kunci penjebakan.
Dikunci di Senja Jingga
Saat meninggalkan rumah aneh itu, kengerian sejati dimulai. Jalan keluar tak lagi ada.
Ke mana pun ia melangkah, hanya kebun sawit. Tidak ada suara manusia, hanya jangkrik dan angin. Yang paling mengerikan: Matahari tak kunjung tenggelam, dan jam tangannya berhenti di pukul 6 sore.
Setiap kali ia menjauh, pintu rumah nenek terbuka, memancarkan cahaya oranye hangat. Bisikan halus datang, memanggilnya kembali: “Baliklah ke sini, nginaplah dulu…”
Bang Bebek berusaha melawan, ingin melafalkan doa, tapi lidahnya terkunci.
“Saya mau baca astagfirullah aja enggak bisa. Lidah saya kayak diikat. Saya tahu, saya bukan di dunia manusia lagi.”
Dalam keputusasaan, ia mendengar namanya dipanggil dengan suara mengejek. Saat ia berlari, ia terperosok ke air hitam pekat. Sebuah tangan raksasa tanpa badan menahannya dari bawah. Tangan itu mengecil, berubah menjadi tangan sahabatnya, Gilang, yang menariknya kuat-kuat.
Pisau Ghaib di Dunia Siluman
Bang Bebek tersadar di pinggir parit, dikelilingi warga dan keluarga yang mencarinya. Ia hilang selama satu hari satu malam. Tubuhnya lemas, matanya kosong, seperti orang mati.
Setelah diperiksa oleh seorang spiritualis, Bang Pian, terungkaplah kengerian yang lebih dalam: ada dua “pisau ghaib” menancap di kedua pahanya. Ketika dicabut melalui ritual, Bang Bebek menjerit seolah dagingnya dikoyak.
Bang Pian menjelaskan bahwa tempat itu adalah wilayah siluman ular penjaga kebun sawit. Nenek yang ia temui adalah penunggu lama. Ia lolos dari maut karena tidak memakan suguhan si nenek.
Satu fakta mengejutkan terungkap: Di dunia para siluman, tidak ada malam. Langit mereka selalu berwarna jingga senja. Itulah mengapa jam tangan Bang Bebek berhenti total di pukul 6 sore. “Waktu mereka mentok di senja,” ujar Bang Pian.
Kini Bang Bebek telah pulih, namun trauma masih menghantui. Rumah tua di pojokan kebun itu masih ada, tak berpenghuni, sebagai pengingat abadi akan dimensi ghaib yang hampir merenggutnya.
Setiap pilihan gelap, pasti punya bayangan panjang. Apakah Anda ingin mencari tahu lebih banyak tentang legenda atau kisah nyata seputar tempat angker di Indonesia?
Kamu juga bisa membaca artikel menarik lainnya seperti Skala Waktu Gaib: Pemuda Batak Ini Merasa Sehari, Ternyata 6 Hari Hilang di Hutan Sumatra