Mengapa Kita Mudah Mengingat Hal Buruk? Rahasia Emosi, Memori, dan ‘Blink’ dari Sudut Pandang Neurosains

Rahasia Emosi, Memori, dan 'Blink' dari Sudut Pandang Neurosains
Rahasia Emosi, Memori, dan 'Blink' dari Sudut Pandang Neurosains

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa nama guru yang galak jauh lebih lengket di kepala dibanding guru yang baik hati? Atau, mengapa satu aroma parfum bisa melontarkan ingatan Anda bertahun-tahun ke masa lalu?

Dalam sebuah diskusi terbuka, seorang neurosaintis mengungkap rahasia di balik cara kerja memori manusia, menjelaskan bagaimana emosi negatif sering kali menjadi perekat terkuat bagi ingatan, dan bagaimana kita dapat mengatasi bayang-bayang trauma masa lalu.

Hipokampus dan Amigdala: Duo Penentu Ingatan

Rahasia Emosi, Memori, dan 'Blink' dari Sudut Pandang Neurosains
Rahasia Emosi, Memori, dan ‘Blink’ dari Sudut Pandang Neurosains

“Manusia itu mengingat sesuatu, dan bagian otak yang terlibat dinamakan sebagai hipokampus,” ujar sang neurosaintis mengawali perbincangan, menjelaskan pusat memori yang merupakan bagian dari sistem limbik.

Menariknya, hipokampus tidak bekerja sendiri. Tepat di depannya, ada bagian lain yang sangat krusial.

“Di depan hipokampus itu ada bagian otak namanya amigdala… Amigdala inilah sebetulnya pusat emosi manusia, sementara hipokampus itu adalah pusat memori manusia,”

Neurosaintis

Keterikatan fisik ini menjelaskan mengapa memori dan emosi begitu erat. Ia melanjutkan, “Lebih mudah bagi kita [mengingat] jika sebuah momen atau kejadian itu betul-betul menstimulasi emosional kita. Dan biasanya, emosi-emosi negatif.”

Inilah mengapa kisah dikhianati sering lebih membekas daripada kisah diberi hadiah—sebuah fakta yang menegaskan bahwa rasa sakit seringkali meninggalkan jejak yang lebih dalam di sirkuit otak kita.

Kekuatan Asosiasi dan Fenomena ‘Blink’

Memori tidak hanya direkam sebagai sebuah film utuh, melainkan sebagai jaringan asosiasi.

“Manusia itu ketika mengingat sebuah kejadian, ia mengingat asosiasi-asosiasinya,” jelasnya. Ia memberikan contoh yang sangat relevan: “Kita memiliki teman baik… dan kita sangat mengingat seperti apa aroma dia, bau parfumnya seperti apa. Suatu ketika kita ketemu dengan orang lain dan mencium yang sama, pikiran kita tiba-tiba terlempar ke teman kita yang lama itu.”

Konsep ini semakin ekstrem dalam konteks trauma. Otak memiliki kemampuan yang disebut ‘blink’ atau thin slicing, di mana hanya dengan secuil informasi—seperti melihat orang yang wajahnya mirip pelaku trauma—kejadian masa lalu dapat kembali.

“Hanya dengan secuil informasi, kita mengingat lagi kejadian-kejadian yang banyak. Hal-hal yang hanya sebagian-sebagiannya saja bisa membuat kita teringat kepada hal-hal yang lama.”

Menutup Trauma dengan Memori Baru

Lantas, bagaimana kita bisa melangkah maju dari ingatan yang menyakitkan?

Menurut sang neurosaintis, memori yang lama sesungguhnya dapat “tertutupi” dengan cara membentuk memori-memori baru. Tantangannya, seseorang yang memiliki trauma seringkali sulit untuk move on.

“Masalahnya adalah, manusia ketika sudah memiliki trauma, ia sendiri sulit untuk move on, pindah dari memorinya itu. Kecuali ia memiliki pengalaman-pengalaman yang baik yang membuat ia kehilangan lagi memori-memori yang traumatis.”

Proses ini membutuhkan waktu dan, yang terpenting, pendampingan yang tepat. “Kita itu punya partner, punya pendamping yang tidak toksik seperti dulu. Dengan pengalaman memakan waktu, muncul memori-memori baru, trauma itu akan hilang,” tegasnya.

Pelajaran untuk Hidup: Prioritas dan Cognitive Load

Diskusi berlanjut meluas ke prinsip hidup dan kepemimpinan. Sang neurosaintis menyarankan untuk menerapkan strategi kognitif yang sama dalam kehidupan sehari-hari, yaitu prioritas dan menghindari beban berlebih.

Jika ada hal yang bisa dihindari, terutama pemicu stres atau trauma, hindarilah.

“Otak kita juga punya batasan, namanya itu cognitive load [beban kognitif]… Kalau ada hal-hal yang bisa kita kerjakan yang lebih baik, kerjakan itu dulu. Mengenai masalah ini, sudah tinggalkan dulu deh.”

Ia menutup dengan sebuah prinsip yang sangat kuat dalam dunia kepemimpinan:

“Kalau hendak mengerjakan semuanya, yang terjadi apa? Tidak ada satu pun yang terkerjakan… If someone is expert in everything, it means he is expert at nothing.”

Pada akhirnya, mengelola memori dan emosi adalah tentang memimpin diri sendiri: mengetahui apa yang harus dikejar, apa yang harus dihindari, dan memiliki keberanian untuk melepaskan hal-hal yang bukan prioritas atau yang menyebabkan hati remuk.

Kamu juga bisa membaca artikel menarik kami lainnya seperti Inspirasi Dokter 75 Tahun: Ini 3 Kunci Utama Hidup Bugar, Bahagia, dan Penuh Makna

Read More :  6 Minuman Untuk Membakar Lemak Perut, Imbangi Olahraga dan Perut Buncit Pun Hilang!

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *