Selama ini, kita sering mendengar vonis tunggal: “Musik itu haram.” Pandangan ini telah mengakar kuat, memecah belah komunitas, bahkan dijadikan tolok ukur kesalehan. Namun, bagaimana jika para ulama besar—pendiri mazhab yang kita ikuti—justru tidak pernah mengeluarkan vonis haram secara mutlak?
Syekh Muhammad Alfuli, dalam kajiannya yang menggugah, mengajak kita meninggalkan debat kusir dan masuk ke ranah ilmiah Fikih. Hasilnya? Sebuah kesimpulan yang mengejutkan banyak pihak: Hukum musik tidaklah hitam putih, melainkan dinamis, tergantung pada konteksnya.
Mari kita bedah tiga poin utama yang membongkar mitos lama tentang keharaman musik.
Daftar Isi
1. Lima Hukum Fikih untuk Satu Nada: Musik Bisa Wajib hingga Haram

Lupakan anggapan bahwa musik hanya memiliki dua hukum: halal atau haram. Syekh Alfuli menegaskan bahwa musik (alat musik) dan ghina (nyanyian) dapat memiliki lima status hukum dalam Islam: wajib, haram, mubah, makruh, dan mustahab.
Intinya: Bukan alat musik atau melodi itu sendiri yang menjadi masalah, melainkan lirik, konteks, dan dampak yang ditimbulkannya.
2. Hadis dan Ayat Kunci: Ternyata Tidak Sejelas yang Diduga

Ulama yang mengharamkan musik sering merujuk pada dua dalil utama. Namun, Syekh Alfuli memberikan penafsiran ulang yang mengubah segalanya:
A. Hadis “Al-Ma’azif” (Alat Musik)
Hadis yang paling populer menyebutkan bahwa di akhir zaman akan ada umat yang menghalalkan zina, sutra, khamr, dan alat musik (al-ma’azif).
Poin Penting: Hadis ini adalah kabar tentang apa yang akan terjadi, bukan larangan langsung.
Konteks Krusial: Keempat hal tersebut disebutkan bersamaan (berdampingan) karena mengacu pada satu konteks: pesta maksiat. Keharaman muncul saat musik digunakan sebagai bagian dari paket maksiat (zina, khamr, dan kesombongan).
Perbandingan: Kain sutra, yang juga disebut dalam hadis, tidak haram bagi wanita. Ini membuktikan bahwa tidak semua yang ada dalam daftar tersebut haram secara mutlak untuk semua orang.
B. Kisah Abu Bakar dan Dua Gadis Penyanyi
Ketika Abu Bakar masuk rumah Nabi ﷺ dan melihat dua gadis Ansar bernyanyi, ia bertanya, “Apakah ada seruling setan di rumah Rasulullah?”
Jawaban Nabi: “Wahai Abu Bakar, setiap kaum punya hari raya, dan ini hari raya kita.”
Kesimpulan: Nabi ﷺ membiarkan dan membenarkan mereka. Walaupun Abu Bakar (mungkin secara personal) tidak menyukai, Nabi tidak mengeluarkan vonis haram. Justru Nabi pernah menawarkan kepada Aisyah untuk mendengarkan seorang budak penyanyi (qayyinah) beraksi, membuktikan nyanyian dan alat musik ringan sudah ada dan dikenal di zaman Nabi.
3. Mazhab-Mazhab Besar Tidak Pernah Ber-Ijma’
Mitos terbesar adalah klaim bahwa ada Ijma’ (konsensus seluruh ulama) dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) yang mengharamkan musik.
Faktanya, hal ini adalah khilafiah (perbedaan pendapat) yang sudah ada sejak zaman Tabi’in.
Imam Malik: Ia hanya berkata, “Saya tidak suka musik,” tetapi tidak mengharamkannya. Bahkan ada ulama Madinah sezamannya yang menyatakan musik itu mubah.
Imam Syafi’i: Beliau secara eksplisit menyatakan bahwa musik adalah hal yang makruh, tetapi “tidak sampai pada keharaman yang jelas-jelas haram.”
Imam Ahmad bin Hanbal: Beliau berkata musik “menumbuhkan kemunafikan dalam hati,” yang menunjukkan ketidaksukaan, bukan vonis haram mutlak.
Kesimpulan: Di Manakah Posisi Anda?
Kajian ini membawa kita pada kesadaran baru: mengharamkan yang halal memiliki dosa yang sama dengan menghalalkan yang haram. Oleh karena itu, kita tidak bisa terburu-buru menghukumi haram tanpa dalil yang sangat jelas dan mutlak.
Pesan Penutup Syekh Alfuli: Jangan jadikan perbedaan pendapat (khilafiah) ini sebagai tolok ukur kesalehan seseorang. Ulama yang ilmunya luar biasa saja berbeda pendapat, maka jangan mudah melabeli orang yang mendengarkan musik sebagai “ahli bid’ah” atau yang mengharamkan sebagai “ekstremis.”
Hukum musik sangat personal dan kontekstual. Jika musik membuat Anda lalai dari ibadah, maka untuk Anda, hukumnya adalah Haram atau Makruh. Namun jika ia menjadi media untuk kebaikan, inspirasi, atau bahkan pengobatan, maka ia menjadi Mubah atau Wajib.
Kini, pilihan ada di tangan Anda. Gunakan akal dan hati untuk menentukan musik jenis apa yang akan Anda izinkan masuk ke dalam jiwa.
Kamu juga bisa membaca artikel menarik kami lainnya seperti Nabi Ayyub: Ketika Musibah Bertubi-tubi Melanda, Inilah Kekuatan Iman yang Mengguncang Langit
Response (1)