Olret.id – Setiap tahun, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW selalu memicu perdebatan hangat di kalangan umat Islam. Apakah peringatan hari kelahiran Rasulullah ini termasuk bid’ah (inovasi agama) yang menyesatkan, atau justru merupakan ekspresi cinta yang dianjurkan?
Syekh Muhammad Al Fuli, dalam kajiannya, mengajak kita untuk melepaskan label-label “Ahli Bid’ah” dan “Wahabi,” dan membahas masalah ini secara ilmiah berdasarkan ilmu Fikih dan pemahaman yang benar terhadap istilah “bid’ah.”
Daftar Isi
Perbedaan Pendapat Ulama: Bukan Perkara Baru

Perlu diketahui, perdebatan mengenai Maulid bukanlah isu baru. Sejak 1000 tahun yang lalu, ulama telah terbagi dalam dua kelompok besar:
Kelompok yang Melarang/Membid’ahkan: Berpegangan pada fakta bahwa para Sahabat Nabi dan generasi awal (Tabi’in) tidak pernah secara khusus merayakan Maulid.
Kelompok yang Membolehkan: Memandangnya sebagai sarana (wasilah) untuk menunjukkan kecintaan kepada Nabi dan termasuk dalam kategori Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik).
Syekh Al Fuli menegaskan bahwa ini adalah masalah Khilafiyah Fiqih (perbedaan pendapat dalam hukum Islam) biasa, bukan pertentangan antara kelompok-kelompok besar.
Kunci Jawaban: Memahami Makna Sejati Bid’ah
Menurut Syekh, inti dari seluruh perdebatan ini terletak pada pemahaman yang salah kaprah terhadap istilah bid’ah.
Jadi, tidak semua hal baru itu haram.
Bukti Bid’ah Hasanah di Zaman Nabi
Syekh memberikan contoh amalan baru (bid’ah secara bahasa) yang diterima oleh Rasulullah SAW karena bisa dikembalikan ke pokok agama:
Ucapan Rifa’ah Saat Bersin: Ketika Rifa’ah mengucapkan lafaz yang lebih panjang setelah bersin, Rasulullah tidak melarang, bahkan bersabda bahwa 30-an malaikat berebut mengangkat ucapan tersebut ke langit. Amalan ini diterima karena kembali ke pokok agama: memuji Allah.
Amalan Bilal: Bilal bin Rabah memiliki kebiasaan baru, yaitu selalu berwudu setiap kali batal dan dilanjutkan dengan shalat dua rakaat. Amalan ini tidak pernah diajarkan Nabi secara spesifik, tetapi Nabi membenarkannya setelah mendengar suara sandal Bilal di surga. Amalan ini kembali ke pokok agama: mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat dan wudu.
Kesimpulan: Selama suatu amalan baru itu tidak bertentangan dengan dalil syar’i dan bisa dikembalikan ke dasar-dasar syariat, maka ia adalah Bid’ah Hasanah (terpuji).
Mengapa Maulid Ada Saat Ini, Tapi Tidak di Zaman Sahabat?
Maulid memang tidak pernah dilakukan oleh para Sahabat. Namun, hal ini wajar karena:
Nabi Sudah Memperingati: Rasulullah SAW sendiri merayakan hari kelahirannya setiap minggu dengan berpuasa di hari Senin.
Kebutuhan Umat: Di zaman Sahabat dan Tabi’in, suasana kenabian masih sangat kental, sehingga mereka tidak membutuhkan acara khusus untuk mengingat Nabi.
Fungsi Maulid: Maulid muncul setelah generasi terbaik berlalu, saat umat mulai lalai. Maulid berfungsi sebagai “refreshing” tahunan, di mana umat dikumpulkan untuk mempelajari Sirah Nabi, bershalawat, dan berzikir.
Jika semua Bid’ah Hasanah ditinggalkan, maka kita juga harus meninggalkan pembukuan Al-Qur’an (mushaf), penggunaan harakat (baris dan titik) pada Al-Qur’an, dan ilmu Tajwid, karena semua itu tidak ada di zaman Nabi!
Pesan Penting: Fokus pada Substansi, Bukan Seremonial
Syekh Muhammad Al Fuli menyimpulkan, perayaan Maulid Nabi adalah hal yang mubah (boleh) dilakukan, asalkan:
Tujuan Utama: Mendekatkan diri kepada Rasulullah, menambah ilmu tentang Sirah, dan memperbanyak shalawat.
Menghindari Kemungkaran: Jauhi hal-hal yang tidak disukai oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti ikhtilat (campur baur) yang haram, musik yang diharamkan (bagi yang meyakininya), dan joget-joget yang tidak sopan.
Intinya: Salahkan perbuatan haramnya, bukan Maulidnya. Jika ada ikhtilat di acara Maulid, maka jauhi ikhtilatnya, bukan Maulidnya.
Jaga Persaudaraan
Pesan penutup Syekh sangat mendalam: Karena ini adalah masalah khilafiyah yang telah ada sejak lama, persatuan dan kesopanan adalah yang utama.
“Jika ada yang menolak Maulid dengan alasan menjaga sunnah Nabi Muhammad SAW, silakan tolak. Tapi tolak dengan sopan, jangan caci maki. Apakah Rasulullah senang antum menjaga sunnahnya dengan menghina dan merendahkan orang?”
Kamu juga bisa membaca artikel menarik lainnya seperti Poligami: Syariat Ilahi atau Sekadar Nafsu? Mengupas Tuntas Tiga Mitos dan Tanggung Jawab Berat
Response (1)