Dalam episode ke-64 siniar (podcast) SUARA BERKELAS, aktor Omara Esteghlal membawa pendengar dalam perjalanan intelektual yang jarang terjadi di media arus utama.
Omara Omara Esteghlal, yang ternyata memiliki latar belakang mendalam di bidang filsafat, tidak hanya membedah esensi kehidupan, tetapi juga menyajikan perspektif baru tentang penderitaan, norma sosial, dan film terbarunya, Tinggal Meninggal.
Daftar Isi
Dari Psikologi Menuju Eksistensialisme

Perjalanan Omara ke dunia filsafat bermula secara tak terduga. Awalnya, ia tertarik pada psikologi, bahkan berencana mengambilnya di perguruan tinggi. Namun, segalanya berubah setelah ia mengikuti kelas Philosophy of Mind dan Eksistensialisme.
Filsafat Eksistensialisme, yang mempertanyakan tujuan hidup dan kebebasan manusia, segera mencuri perhatiannya. Omara merasa pertanyaan-pertanyaan ini—seperti “Apakah kita dikutuk atau dianugerahi untuk dilahirkan tanpa pilihan?”—selama ini bersemayam di pikirannya, tetapi tidak memiliki kosakata untuk diungkapkan.
Ia bahkan membeberkan tiga buku yang paling mengubah hidupnya, di antaranya:
Genealogy of Morality (Friedrich Nietzsche): Membongkar perkembangan relativisme moral dan mempertanyakan konsep ‘baik’ dan ‘jahat’ yang telah menjadi pakem sosial.
Tractatus Logico-Philosophicus (Ludwig Wittgenstein): Mengajarkan tentang kegagalan komunikasi dan banyaknya asumsi dalam percakapan sehari-hari, bahkan untuk kata sesederhana “kursi.”
The Fall (Albert Camus): Memicu kontemplasi moral tentang motivasi di balik perbuatan baik: Apakah kita menolong orang karena tulus atau hanya demi memuaskan ego dan kewajiban sosial?
Mengapa Hidup Adalah Perjuangan, Bukan Kenikmatan
Salah satu topik paling provokatif yang dibahas adalah pandangan Arthur Schopenhauer tentang hidup sebagai penderitaan (to live is to suffer).
Omara menjelaskan mengapa mengejar kenikmatan adalah sebuah kekeliruan: Kita bekerja keras selama sebulan untuk mendapatkan gaji, lalu menghabiskannya, dan kembali bekerja keras untuk bulan berikutnya. Bahkan ketika kita berhasil membeli mobil impian, kita tetap menggunakannya untuk bekerja keras lagi.
“Banyak hal-hal hidup kita itu dipenuhi… 80-90% adalah struggle-nya kita, susah payahnya kita,” ujar Omara.
Pandangan ini kemudian dikawinkan dengan konsep Absurditas dari Albert Camus, yang diwakili oleh Mitos Sisifus. Daripada putus asa pada tujuan hidup yang tak ada artinya, Camus menyarankan untuk membayangkan Sisifus bahagia saat mendorong batu ke atas bukit berulang kali. Intinya, kita harus mencoba menikmati proses perjuangan itu sendiri.
Membongkar Norma Sosial Lewat ‘Tinggal Meninggal’

Pembicaraan berlanjut ke film terbaru Omara, Tinggal Meninggal, yang merupakan eksplorasi langsung dari tema-tema filosofis tersebut.
Karakter Omara, Gema, adalah seorang yang teralienasi secara sosial. Ia merasa kesepian, tetapi ia menemukan ironi tragis: ia mendapat perhatian dan afeksi dari rekan-rekan kerjanya justru saat ayahnya meninggal dunia. Kehilangan yang seharusnya menyedihkan malah memberinya kebahagiaan.
Film ini menantang ekspektasi sosial: Haruskah kita sedih saat ada yang meninggal, ataukah perasaan itu bersifat mutlak?
Omara menyimpulkan bahwa keresahan Gema sebenarnya adalah keresahan universal, yaitu tekanan untuk beradaptasi dan fit in dengan norma sosial yang ambigu. “Tidak semua orang itu jago adaptasi, tapi kita memaksakan orang harus bisa adaptasi,” tegasnya.
Catatan Akhir: Berhati-hati dengan Self-Diagnose
Sebagai penutup, Omara menitipkan pesan penting, terutama di era media sosial: Berhati-hatilah dengan self-diagnose (mendiagnosis diri sendiri) dan melabeli orang lain dengan istilah psikologis (NPD, OCD, Anxiety).
Kriteria diagnosis sesungguhnya sangat kompleks. Omara khawatir bahwa melabeli setiap emosi yang kita rasakan akan membunuh ambisi dan menciptakan pemikiran bahwa setiap perbedaan perilaku harus memiliki ‘penyakit’ sebagai alasannya.
Bagi mereka yang sedang merasa kesepian, Omara berpesan bahwa itu adalah hal wajar, karena kita terlahir sebagai social animal. Solusinya bukanlah mencari pasangan baru atau teman baru secara instan, melainkan mencari kepuasan diri—baik secara batin, intelektual, maupun fisik—agar perasaan kesepian itu tidak berubah menjadi keterpurukan.
Kamu juga bisa membaca artikel menarik kami lainnya seperti Ketika Hidup Terasa Berat: Pelajaran Berharga dari Fardiyandi tentang Beban, Motivasi, dan Lingkaran Pertemanan