Kabar buruk bagi para pekerja kantoran dan pencinta kenyamanan: penyakit jantung kini tak lagi didominasi oleh usia 40 tahun ke atas. Tren menunjukkan bahwa usia penderita di Indonesia terus menurun, bahkan kini telah menjangkau mereka yang baru memasuki usia 20-an akhir.
Dalam podcast SUARA BERKELAS, dr. Dika Rianata, seorang dokter olahraga ternama yang pernah menangani kontingen atlet Indonesia di SEA Games hingga Olimpiade, membedah secara gamblang apa saja kebiasaan “sepele” yang diam-diam merusak tubuh kita, serta bagaimana pandangan keliru tentang kesehatan justru menjadi bumerang mematikan.
Daftar Isi
1. Jebakan Gaya Hidup Serba Nyaman (dan Risiko Kematian Dini)

Menurut dr. Dika, ada dua kubu yang kini mendominasi: mereka yang sangat aktif dan mereka yang hidup dalam kemudahan ekstrem. Sayangnya, kelompok kedua mendominasi dan terperangkap dalam gaya hidup yang sangat mendukung penyakit jantung:
- Duduk Terlalu Lama: Riset menunjukkan, duduk di atas kursi kantor selama lebih dari 7 jam per hari meningkatkan peluang Anda terkena sakit jantung. Pola kerja yang menuntut duduk hingga larut malam membuat tubuh kita menua lebih cepat secara internal.
- Minuman Manis dan Kurang Gerak: Ditambah lagi dengan maraknya minuman kopi kekinian yang tinggi gula, gaya hidup minim gerak, dan waktu tidur yang berantakan. Dr. Dika menyebutnya sebagai kondisi di mana Anda hanya tinggal “menunggu” giliran terkena penyakit.
2. Jangan Pernah Sepelekan Gejala sebagai “Masuk Angin”

Kesalahan fatal yang masih sering terjadi di Indonesia adalah menganggap gejala serangan jantung sebagai “masuk angin” biasa. Dokter Dika menceritakan pengalamannya di IGD, di mana pasien serangan jantung sering datang terlambat karena sebelumnya sempat dikerok di rumah!
Waspadai Tanda-Tanda Serangan Jantung:
- Nyeri Dada Menyebar: Rasa nyeri di dada kiri yang menjalar ke tangan, leher, atau punggung. Jangan berprasangka baik! Segera periksa.
- Blackout: Tiba-tiba pandangan gelap atau pingsan saat beraktivitas ringan, menunjukkan pompa jantung kurang kuat menyalurkan darah ke otak.
- Nadi Tidak Teratur (Aritmia): Irama denyut nadi yang dirapel atau tidak beraturan.
Selain itu, dr. Dika juga memperingatkan bahaya mendatangi tukang urut untuk cedera seperti keseleo. Keseleo adalah robekan ligamen (jaringan penghubung tulang), bukan “salah urat.” Diurut mungkin meredakan otot tegang, tetapi tidak akan menyambungkan ligamen yang putus, hanya memperburuk kondisi dalam jangka panjang.
3. Fat Loss: Berhenti Membakar Kalori, Mulai Membangun Kebiasaan

Dokter Dika menyoroti tiga miskonsepsi besar tentang kebugaran:
Mitos 1: “Fat but Fit”
Seseorang tidak bisa dikatakan bugar secara paripurna jika salah satu komponen kebugaran, yaitu komposisi tubuh, buruk. Lemak yang berlebihan, meskipun Anda merasa kuat atau mampu berolahraga, tetaplah bom waktu yang berisiko memunculkan masalah kolesterol dan penyakit di kemudian hari.
Mitos 2: Lari Tidak Efektif untuk Bakar Lemak
Ini adalah miskonsepsi paling sering. Ada perbedaan antara Fat Burning (proporsi energi dari lemak saat berolahraga) dan Fat Loss (total lemak yang hilang).
- Lari (intensitas tinggi) membakar total kalori lebih banyak dibandingkan jalan kaki dalam waktu yang sama.
- Setelah lari, tubuh akan mengalami “Afterburn” di mana metabolisme berjalan dengan bahan bakar lemak untuk proses pemulihan.
- Intinya: Atlet lari jarak jauh itu kurus-kurus, bukan berlemak. Jadi, jangan takut untuk lari.
Mitos 3: Olahraga sebagai Hukuman Dosa Makan
“Aku harus olahraga karena tadi malam mukbang nasi goreng dua piring.”
TIDAK. Olahraga seharusnya adalah perayaan kemampuan fisik kita, bukan hukuman. Memandang olahraga hanya sebagai pembakaran kalori adalah salah. Meskipun kalori yang Anda bakar tidak menutupi kelebihan makan, proses membangun otot dan melatih jantung tetap terjadi. Ini adalah investasi kesehatan yang tidak akan pernah sia-sia.
Satu Nasihat Terbaik: Lawan Diri Anda yang Kemarin
Sebagai penutup, dr. Dika memberikan nasihat paling fundamental untuk setiap orang yang ingin memulai hidup aktif:
“Olahraga adalah tentang bagaimana kita bisa mengalahkan diri kita yang kemarin. Jangan terlalu sibuk memikirkan orang lain, jangan membandingkan pace lari Anda dengan influencer di Strava, atau mengangkat beban seberat orang lain. Kenali level tubuh Anda sendiri dan fokus untuk menjadi versi diri yang lebih baik dari hari ke hari.”
Lakukan olahraga sebagai gaya hidup (lifestyle), bukan sekadar destinasi atau ajang validasi. Dengan begitu, Anda sedang menabung kesehatan agar kelak di usia senja, Anda masih bisa bermain bersama cucu tanpa perlu terbaring sakit.
Kamu juga bisa membaca artikel kesehatan kami lainnya seperti Selamat Tinggal Obat! Bebas Diabetes, Asam Lambung, dan Insomnia dengan Rahasia Dapur Nusantara